Citra pluralisme yang ada di Indonesia rupanya telah merambah di
setiap sudut-sudut kota, bukan hanya terbatas pada beda ras ataupun beda pulau
satu dengan pulau lainnya, termasuk di Kota Kudus. Namun demikian, kondisi
tersebut tidak menjadikan kontraktif dalam berinteraksi. Sebelum Sunan Kudus mulai
berdakwah di tanah Kudus, mayoritas masyarakatnya telah beragama Hindu dan Budha,
dan hanya sebagian saja yang memeluk Islam, itu berkat dakwah Kyai Telingsing.
Ketika Sunan Kudus hadir di antara umat-umat itu, beliau mulai berdakwah dengan
menjalin keakraban terhadap budaya dari masing-masing kepercayaan yang dianut oleh masyarakat sekitar pada masa itu.
Terjalinnya hubungan yang harmonis di tengah-tengah perbedaan itu secara
analitik tercermin diantaranya dalam struktur bangunan monumental, yaitu Menara Kudus yang arsitekturnya
merupakan akulturasi dari budaya Hindu dan Islam ; budaya pelarangan
menyembelih sapi di tanah Kudus merupakan ajaran dari umat Hindu yang
mempercayai sapi sebagai hewan yang suci ; kemudian pada padasan (tempat wudlu)
yang dibuat Sunan Kudus saat membangun masjid, beliau meletakkan arca sebagai
simbol toleransi terhadap umat Budha.
Strategi Dakwah
Sunan Kudus
Dulu ada Sunan Kudus, pada mulanya beliau adalah pendatang baru
yang ingin menyebarkan agama Islam yang dalam praktiknya menerapkan strategi
yang proporsional untuk diterima masyarakat Kudus pada masa itu. Sunan Kudus
mengajak masyarakat melalui “gusjigang”, yaitu falsafah dari Kota Kudus atau
sikap hidup yang mampu mengantarkan pelaksananya sukses dunia akhirat.
Terbentuknya kata “gusjigang” merupakan rangkaian dari tiga singkatan, ialah
“gus” yang berasal dari kata “bagus”, “ji” yang berasal dari kata “ngaji”, dan
“gang” yang berasal dari kata “dagang”. Ketiganya mampu menciptakan masyarakat
Kudus yang berakhlak, religius, serta memiliki jiwa entrepreneurship yang
mendukung kehidupan masyarakat menjadi makmur dan sejahtera.
Masyarakat Harus
“Gusjigang”
Oleh Abdurrahman Kasdi dalam bukunya yang berjudul NU dalam
Tantangan Lokal dan Global terbitan tahun 2013 pada halaman 7-8
mendeskripsikan bahwa warga Kudus telah lama dikenal sebagai “gusjigang”
(bagus, ngaji, dan dagang), yaitu harus bagus akhlaknya, tekun mengaji, dan
terampil berdagang. Memposisikan
falsafah “gusjigang” sebagai penanda untuk umat Islam di Kudus memiliki
hubungan paradigmatik dengan Kanjeng Sunan Kudus yang waliyyul ‘ilmy dan
“wali saudagar”. Penanda Sunan Kudus sebagai waliyyul ‘ilmy melahirkan
stok tanda paradigmatik “varian orang santri yang gemar mengaji”. Sementara
tanda Sunan Kudus sebagai “wali saudagar” juga melahirkan paradigmatik “varian
santri dengan etos berdagang”. Maka dengan perspektif ini, gejala budaya
paradigmatik yang bisa diserap dari pola hubungan tanda tersebut melahirkan
identitas budaya “gusjigang” yang melekat bagi orang Kudus meski semua tumbuh
subur hanya komunitas “wong ngisor menoro” (Kudus Barat).
Kiprah “Gusjigang”
Dalam
implementasinya, falsafah gusjigang banyak berkontribusi dalam penataan
pendidikan karakter bagi masyarakat Kudus. Dalam aspek perdagangan mampu
mendongkrak semangat masyarakat untuk giat dan cekatan memprediksi serta
mengambil peluang usaha. Aspek inipun sebenarnya juga telah diajarkan oleh Rasulullah
sewaktu beliau menjadi saudagar yang jujur di negeri Syam. Sunan Kudus
melakukan strategi dagang dengan tujuan menyebarkan agama Islam secara lebih menyeluruh bagi lapisan masyarakat,
karena dengan berdagang beliau dapat menjumpai orang-orang dengan beragam latar
belakang.
Sunan
Kudus memilih strategi berdagang karena mempertimbangkan wilayah kota yang
sempit tidak memungkinkan untuk bertani, apalagi berlaut sangatlah tidak
memungkinkan, karena Kota Kudus diapit oleh perbatasan kota-kota lain, dan
tidak ditemukan wilayah laut.
Gambar tersebut
merupakan bukti bahwa masyarakat berjualan di sekeliling menara Kudus. Rupanya
falsafah dagang itupun dianut oleh masyarakat yang dijalani dengan kesungguhan,
sehingga kesuksesan dapat diraih oleh masyarakat sekitar menara itu, yang lebih
banyak memilih berdagang di sepanjang tepi jalan sekitar Menara Kudus sebagai
upaya mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Hasil kesuksesan itu terlihat
pada bangunan rumah-rumah sekitar menara. Masyarakat di sana saling
berlomba-lomba membangun rumah yang bertembok tinggi. Bukti lain dari penerapan
konsep dagang yaitu ketika kita melihat antusias masyarakat untuk berjualan di
sekitar area simpang tujuh, serta berdirinya beragam industri yang ada di Kudus.
Melalui
kegiatan dagang dapat membangun semangat masyarakat tentang enterpreneurship
yang tentu bisa menciptakan kemakmuran itu sendiri, dan dengan tingkat
kesejahteraan yang jauh lebih terpenuhi. Di samping itu juga usaha yang
didirikan dapat berkontribusi mengurangi jumlah pengangguran sekaligus
mengembangkan dan meningkatkan potensi
Kota Kudus daripada menjadi pegawai, karyawan atau buruh pada instansi atau pabrik-pabrik
sebagaimana masyarakat sekarang pada umumnya, kinerja mereka dibatasi pada usia
tertentu. Diantara usaha yang masih tetap eksis sampai sekarang yaitu pembuatan jenang Kudus, dan batik Kudus yang
terkenal dengan motif Perahu Kandas.
Kemudian pada
aspek religi dari dasar mengaji didapati rona spiritual yang melekat di Kota
Kudus, yang juga memiliki julukan sebagai Kota Santri diantara julukan-julukan
lain. Sunan Kudus mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan bagi para santri dan
pengikutnya. Melalui budaya mengaji, Sunan Kudus juga berkesempatan mengajarkan
etika-etika dalam bersosialisasi, berkehidupan yang baik dan mulia di dalam
masyarakat agar para santri dan masyarakat Kudus memperoleh kemaslahatan baik
dunia maupun akhirat. Orang mengaji memiliki jiwa religi yang berarti ia dekat
hubungannya dengan Allah, dan orang yang bisa dekat dengan Allah hanyalah orang
yang baik akhlaknya. Menjaga akhlak yang baik sekiranya mampu membentengi diri
kita dari hal-hal negatif yang bisa saja ditemukan pada hasil globalisasi
budaya asing yang tidak pintar-pintar disaring atau diseleksi sesuai tuntunan
agama dan bangsa.
Semenjak
Sunan Kudus mengajarkan sistem mengaji yang pada hakikatnya bisa diartikan
dengan belajar, dalam konteks yang dinamis seperti sekarang ini, pola tersebut
dijumpai pada lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal. Dalam
website portalsemarang.com menguraikan, secara historis telah diakui, Kudusadalah salah satu pusat dakwah Islam di Jawa. Hal itu dapat dilihat dari
terdapatnya lima makam, yaitu makam Kyai Telingsing, makam Sunan Kudus, makam Sunan
Muria, makam Sunan Kedu, dan makam Syeh Syadzili. Tercatat ada sebanyak 86
pondok pesantren di Kudus yang tersebar di Sembilan kecamatan.
Tentu
saja di pondok pesantren diajarkan ilmu Al Qur’an, Hadits, Falak, dan
lain-lain. Ada pula pondok pesantren yang menerapkan sistem tahfizh (menghafal
Al Qur’an). Para
santri harus mampu menyetorkan hafalannya dengan rentan waktu yang telah
ditentukan, apabila tidak bisa setor sesuai kuota juz yang harus dihafalkan
maka santri tidak naik kelas. Tidak heran jika di Kudus melahirkan banyak ahli
Qur’an.
Konsep
“gusjigang” telah mengakar dan menemukan titik keberhasilan dalam memajukan
eksistensi Kota Kudus sejak pada masanya. Namun, di balik keberhasilan itu,
masyarakat sekarang justru tidak sedikit yang tidak mengetahui arti falsafah
dari “gusjigang” itu sendiri, bahkan merasa asing ketika mereka mendengar
istilah “gusjigang”. Oleh sebab itu, sebagai masyarakat Kudus untuk para
generasi tua tidak enggan untuk menyampaikan konsep “gusjigang” yang telah
diajarkan oleh Sunan Kudus kepada generasi muda, dan yang telah mengetahui
menyemarakkan kembali istilah “gusjigang” kepada khalayak luas, terlebih lagi kepada
para pelajar yang sejatinya adalah penerus bangsa yang berpendidikan, dan
berkarakter agar mengindahkan konsep “gusjigang” untuk membentuk dirinya
menjadi pribadi yang memiliki kinerja tinggi, berkualitas baik akhlak kaitannya
dalam menyikapi masalah keduniawian maupun wawasan ukhrawinya, sehingga mampu
mengemban amanat untuk bangsa ini secara lebih komperehensif khususnya dalam membangun kota Kudus tercinta sehingga terciptalah Kudus yang semakin sejahtera.
Sebagai orang kudus, saya sangat bangga dengan kemajuan kota Kudus. Semoga Kudus semakin sejahtera
ReplyDeleteSaya baru mendengar ada batik khas kudus.... mantabb
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteSalam kenal bang ijin ninggl jejak
ReplyDeleteHipnoterapi Semarang
Keep writing bang
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeletemantab dah di rekontruksi , semoga tambah bagus
ReplyDeleteObat Batuk Anak Herbal